Hukuman Mati Di Indonesia

Pendahuluan

Sistim pemidanaan di Indonesia menurut kitab Undang-undang hukum pidana pada pasal 10 terdiri atas empat jenis pemidanaan yaitu (1). Pidana mati, (2). Penjara , (3). Kurungan, (4). Denda. Untuk pidana mati, sampai hari ini para ahli masih terus memperdebatkan apakah perlu tidaknya penjatuhan pidana mati kepada seorang terpidana. Kenapa manjadi kontroversi? Hal ini disebabkan karena pemidanaan jenis ini adalah dengan menghilangan nyawa seseorang sehingga tidak ada lagi kesempatan baginya untuk bertobat bahkan untuk bernafas sekalipun. Persoalan lain yang mengemuka adalah apakah Negara memiliki hak untuk mengambil nyawa seseorang atau tidak? Apakah hukuman mati dapat mengurangi angka kejahatan dan masih banyak pertayaan-pertanyaan lain yang terus dikemukakan berkaitan dengan persoalan pidana mati ini. Hukuman mati adalah bahan perdebatan yang tampak seperti tidak akan ada habisnya. Negara-negara di Uni Eropa sudah menghapus semua jenis bentuk hukuman dimana negara mencabut nyawa manusia. Beberapa negara bagian di Amerika Serikat juga melakukan hal serupa meskipun negara bagian lainnya masih melakukan eksekusi. Sistem hukum Indonesia pun masih mengakui keabsahan hukuman mati, dan juga masih melaksanakan eksekusi dengan regu tembak...

Argument Pro Hukuman Mati

Sebagaimana telah disebutkan bahwa hukuman mati di Indonesia telah menuai banyak kontroversi antara mereka yang setuju dan yang menolak dilaksanakannya hukuman mati. Berikut ini kami menguraikan beberapa pendapat dari para ahli yang setuju dengan pelaksanaan hukuman mati.

a. Lemaire (seorang ahli hukum berkebangsaan Belanda) berpendapat bahwa Indonesia sebagai negara jajahan yang mempunyai ruang lingkup yang luas dengan susunan penduduk yang beraneka ragam yang pada hakekatnya mempunyai keadaan yang berlainan dengan Belanda dan bahaya akan gangguan terhadap tertib hukum di Indonesia (hindia Belanda) jauh lebih berbeda dengan negara-negara eropa. Berdasarkan itu maka senjata seperti pidana mati mempunyai karakter menakutkan yang tidak dimiliki oleh jenis pemidanaan lain.

b. Bichon Van Ysselmonde berpendapat bahwa ancaman dan pelaksanaan pidana mati harus ada dalam tiap-tiap negara dan masyarakat yang teratur.

c. Jaksa Agung (Jagung) Abdul Rahman Saleh menyatakan kondisi hukuman mati masih relevan di Indonesia, sebab Indonesia berbeda dengan negara-negara Eropa yang sudah maju. Institusi-institusi di Indonesia seperti kepolisian dan kejaksaan agung, maupun perangkat perundang-undangan kondisi kemasyarakatannya masih lemah, sehingga kalau hukuman mati dihapus sekarang situasi malah semakin buruk.

Argument Kontra Hukuman Mati

1. Kontradiksi Standar Moral,
Apabila masyarakat memandang pembunuhan sebagai suatu bentuk tindakan amoral, maka pembunuhan yang meskipun dilakukan oleh negara juga harus dipandang amoral. Sebab, ke-amoral-an pembunuhan didasarkan oleh prinsip penghilangan nyawa - lepas dari siapa pelaku dan korbannya. 'Membalas' tindakan amoral dengan tindakan amoral bukanlah metode yang bisa dibenarkan, apalagi jika tindakan tersebut dilakukan oleh institusi negara. Justru hukuman mati secara tidak langsung menanamkan konsep 'pembunuhan yang dibenarkan' - dan ini sama sekali tidak bisa dibiarkan.

2. Tugas Negara Menegakkan HAM, Bukan Melanggarnya
Indonesia sudah meratifikasi Universal Declaration of Human Rights yang juga termasuk hak asasi untuk hidup. Inilah salah satu alasan utama banyak negara maju termasuk negara-negara Uni Eropa melarang hukuman mati.

Di Indonesia, prinsip yang sama dikuatkan lagi dengan UUD 1945 Bab XA: Hak Asasi Manusia, pasal 28A (amandemen II) yg berbunyi: "Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya." Melalui hukuman mati justru negara melanggar prinsip dasar tersebut. Hak asasi manusia adalah hak yang tidak dapat dicabut oleh siapa pun - termasuk negara. Seharusnya, segera setelah amandemen II tersebut berlaku, perundangan dibawahnya yang melanggar hak asasi manusia (termasuk dan terutama perihal hukuman mati) pun di revisi.

Selain hal yang disebutkan diatas ada beberapa pendapat ahli yang juga kami kutip:

a. Roling (1939) menganjurkan suatu argumen bahwa pidana mati mempunyai daya destruktif, yaitu apabila negara tidak menghormati nyawa manusia dan menganggap tepat untuk melenyapkan nyawa seseorang maka kemungkinan besar berkurang pula rasa hormat orang pada nyawa manusia.

b. Von Hunting (1954) sebenarnya Negara yang berkewajiban mempertahankan nyawa manusia (warganya) dalam keadaan bagaimanapun juga.

c. Van Bammelen bahwa pidana mati sebenarnya menurunkan wibawa pemerintah, pemerintah mengakui ketidakmampuannya dan kelemahannya. Ia tidak dapat lagi menguasai keadaan dan tidak berusaha mencari jalan lain yang lebih beradab.

Kesimpulan

Kelompok kami menolak pemberlakuan hukuman mati dalam sistim pemidanaan yang dianut oleh Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh KUHP. Artinya kami ada didalam barisan yang kontra hukuman mati. Selain beberapa alasan kontra yang telah kami kemukakan dan kami kutip dalam tulisan ini, ada alasan lain yang dapat kami kemukakan sebagai berikut :
Sebagaimana kita ketahui bahwa KUHP pada pasal 10 mengatur salah satu hukuman pokok adalah hukuman mati, berlaku di Indonesia (hindia Belanda) sejak tanggal 1 januari 1918. dan kemudian setelah Indonesia merdeka KUHP ini dikodifikasi menjadi Uundang-undang nomor 1 tahu 1946. persoalannya kemudian adalah ternyata sejak tahun 1870 hukuman mati sebagaimana disebutkan dalam pasal 10 KUHP telah dihapus di negeri Belanda. Itu berarti setelah 48 tahun penghapusan pidana mati di negeri asalnya (belanda) tetapi dinegeri jajahannya pasal tentang hukuman mati tersebut diberlakukan kembali.
Karena itu menurut kami, pasal yang mengatur hukuman mati tidak dapat lagi diipakai karena berbau rasial yang diskriminatif mengapa demikian? karena pidana mati yang kita anut sekarang ternyata dibuat dan ditujukan hanya kepada orang-orang tertentu atau hanya kepada bangsa jajahan negeri Belanda.

Design by : ARYbiz.com Team